Rabu, 30 Mei 2012

Ulama Akherat , Ulama Dunia

Ulama Akherat , Ulama Dunia

Mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang menempuh 'Jalan Islam', yakni berpura-pura mengakomodasi umat Islam dan tokoh-tokohnya hingga mereka semua bisa tunduk pada kepentingan Jepang. Sejumlah pemimpin pergerakan Indonesia mengambil sikap kooperatif terhadap Jepang, termasuk Soekarno-Hatta, KH. Wahid Hasyim, KH. Mas Mansyur, dan lainnya. Namun tidak demikian Haji Rasul. Ayahanda Prof. Hamka ini memiliki sikap teguh dalam memegang prinsip Islam. Walau dia tidak bersikap kooperatif, namun Haji Rasul juga tidak bergabung dengan pergerakan apa pun. Kesehariannya diisi dengan mengajarkan agama Islam kepada umat. Itu saja. Sosoknya yang begitu teguh membuatnya dihormati orang-orang Jepang. Sebab itu, beberapa tokoh Jepang mengenalnya dengan baik.


Suatu hari, serombongan tokoh pergerakan mengunjungi dirinya yang masih terbaring di tempat tidur. Haji Rasul terjatuh di tahun 1943 sehingga kondisi badannya yang telah tua kian lemah. Rombongan sahabat-sahabatnya ini baru saja pulang dari Tokyo bersama sejumlah pembesar Jepang. Mereka antara lain Soekarno, Hatta, KH. Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumoh (Muhammadiyah), dan KH. Mas Mansyur. Haji Rasul tidak pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Di depan rombongan tersebut, Haji Rasul tidak menampakkan wajah yang hangat. Rombongan pun memahami perasaan rekannya itu yang tidak menyetujui srategi kooperatif dengan Jepang yang mereka tempuh.
bersalaman dengan KH. Mas Mansyur, Haji Rasul berpesan, "Ingatlah Tuhan, Mansyur! Ingatlah dan insyaflah bahwa nasib umat Muslim terletak di atas pundakmu." Ucapan itu konon sangat menyentuh hati KH. Mas Mansyur sehingga dia pun kemudian jatuh sakit sepulangnya dari kunjungan.  Kepada Soekarno, Haji Rasul juga berpesan, "Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!"  Soekarno hanya bisa terdiam.

Ketika penguasa militer Jepang meminta fatwa nikah mut'ah (kawin kontrak) dengan alasan mereka jauh dari keluarga selama berbulan-bulan, bahkan dalam bilangan tahun, banyak ulama yang mengiyakan. Jepang ingin agar mereka bisa "dihalalkan" ketika berhubungan dengan para jugun ianfu (perempuan pribumi yang dipaksa sebagai pelampiasan nafsu rendah para tentara Jepang). Tapi Haji Rasul tetap menolak dengan keras, sebagaimana dia menolak peraturan seikerei yang diundangkan penguasa militer Jepang. Seikerei adalah membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pagi, simbol penghormatan kepada Tenno Heika yang dianggap titisan Dewi Matahari Amaterasu. Haji Rasul bukannya tidak tahu konsekuensinya, bisa saja dia ditangkap dan disiksa, namun keteguhan imannya membuat ulama ini tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa gentar sedikit pun. Sebab itu, penguasa militer Jepang pun menaruh hormat pada ulama yang kuat memelihara izzah Islam dalam dadanya ini.

Di pertengahan tahun 1945, penyakitnya kian bertambah parah. Kondisinya makin menurun, dan pada 2 Juni 1945, Haji Rasul pun menemui Sang Khaliq. Semua tokoh pergerakan menangisi kepergiannya. Penguasa Jepang pun melakukan penghormatan terakhir baginya. Kepergian tokoh besar ini meninggalkan banyak hikmah bagi bangsanya, umat Islam Indonesia. Haji Rasul merupakan seorang ulama yang istiqomah, tidak tergoda oleh zaman, dan tawadhu.

Sosok Haji Rasul ini merupakan salah satu contoh "Ulama Akherat", sebagaimana bunyi hadits Rasul SAW: "Ulama yang paling buruk adalah ulama yang suka mengunjungi penguasa, sementara penguasa yang paling baik adalah yang sering mengunjungi ulama." (HR. Ibnu Majah, dikutip oleh Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulum ad-Din).

Dalam hadits yang lain, Rasul SAW berkata, "Kaum ulama adalah para pemegang amanat RAsul (untuk disampaikan) kepada hamba-hamba Allah selagi mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Apabila mereka telah menjalin hubungan dengan para penguasa, berarti mereka telah berkhianat kepada Rasul. Oleh karena itu berhati-hatilah kamu kepada mereka dan jauhilah mereka." (HR. al-Uqayli. Lihat Al-Ghazali: "Kehidupan Ulama Dunia dan Akherat"; 1986; h.56).

Ulama Akherat dan Ulama Dunia
Imam Ghazali membagi ulama dalam dua kategori: Ulama Akherat dan Ulama Dunia. Yang pertama adalah ulama pewaris Nabi, warasat al-anbiya. Sedangkan yang kedua adalahulama su'. "Mereka inilah yang mempergunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan duniawi, termasuk menjadikannya tangga untuk meraih pangkat dan kedudukan. Sementara itu, ulama akherat adalah ulama yang sadar betul akan ilmu yang dimilikinya. Ulama ini memiliki ciri-ciri antara lain, tidak memanfaatkan ilmu hanya untuk mencari keuntungan duniawi, konsekuen dengan ucapannya, sederhana, menjaga jarak dengan penguasa, tidak tergsa-gesa memberikan fatwa, mementingkan kata hati...

Ulama akherat hidup bersahaja dalam pengabdiannya yang shalih terhadap ilmu agama dan menjauhkan diri dari upaya mengejar kebendaan dan politik. Para ulama itu lebih senang melewatkan hari demi hari dalam kemiskinan daripada bergaul dengan raja dan konglomerat. Keseluruhan hidup mereka dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan dan berjuang untuk mempertinggi moral masyarakat.

Sebaliknya, ulama dunia atau ulama su' selalu menginginkan kekayaan dan kehormatan duniawi. Celakanya, mereka tidak segan-segan berkhianat pada hati nurani, asalkan tujuan mereka tercapai. Dalam kenyataannya, ulama tersebut bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, serta memberikan sokongan moral terhadap tindakan mereka, tak perduli baik atau buruk. Terkait dengan ulama su', ada ilustrasi menarik yang dipaparkan Ibnu Mas'ud : "Kelak akan datang suatu masa tatkala hati manusia asin; ilmu tidak bermanfaat lagi. Saat itu, hati ulama laksana tanah gundul dan berlapiskan garam. Meski disiram hujan, namun tidak setets pun air tawar nan segar dapat diminum dari tanah itu." Begitulah bila hati ulama cenderung mencintai dunia sehingga Allah mematikan sumber-sumber hikmah dan memadamkan pelita-pelita hidup.   

Di zaman sekarang, di mana kita hidup di negeri Muslim terbesar dunia, diakui atau tidak, kita tengah kekurangan sosok ulama akherat, ulama pejuang, seperti sosok Haji Rasul, Muhammad Natsir, HAMKA, dan ulama pejuang lainnya. Sebab itu, di negeri Muslim terbesar dunia ini, majalah Playboy bisa beredar dengan legal, tingkat korupsi selalu ranking teratas di seluruh dunia, perjudian dan prostitusi meraja-lela, kekayaan alam anugerah Allah banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan Yahudi, syariat Islam dianggap ketinggalan zaman, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Negeri ini memang tengah meluncur ke jurang kebinasaan, haruskah iman dan akidah kita harus ikut tergadai? (fz)
  


 
Last modified on Wednesday, 30 May 2012 0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar